Kalau kita baca-baca kembali halaman opini yang ada di setiap media massa, baik suratkabar maupun majalah, rasanya kita biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa. Kita sepertinya sudah tahu dengan pokok persoalan yang diulas oleh sang penulis. Kita menganggap rubrik “opini” adalah bagian integral dari media massa, sama halnya dengan rubrik lainnya macam “berita halaman satu”, “surat pembaca”, “iklan kecik”, “cerita bersambung” atau berita ringan seperti “tokoh dan peristiwa”.
Lantas apa istimewanya rubrik “opini” yang juga kerap disebut “kolom” itu? Rubrik yang juga disebut sebagai “artikel” ini sebetulnya adalah rubrikasi media yang umumnya diisi dan ditulis oleh orang luar. Isinya bisa berhubungan dengan berita utama. Tapi bisa juga sama sekali tak berhubungan. Rubrik ini biasanya diisi oleh berbagai macam orang dari berbagai macam latar belakang dan keahlian.
Dalam media massa yang berbentuk suratkabar, rubrik ini bisa dikenali dari kekhususannya pada letak halaman (editorial page). Pada halaman ini biasanya diletakkan bersamaan antara opini si pengelola media massa (tajuk rencana) dengan opini para “tokoh” masyarakat yang bisa berbeda nadanya. Sikap yang bertentangan ini dalam istilah jurnalistik disebut sebagai “opposite editorial”.
Secara historis, rubrik opini punya tempat terhormat dalam pers Indonesia. Rubrik ini dipandang sebagai sebuah forum dialog di mana anggota masyarakat bisa saling bertukar pikiran. Rubrik ini juga ikut membentuk aliran utama pemikiran intelektual yang tengah berkembang dalam masyarakat. “Opini” tak kalah pentingnya dengan informasi faktual yang sedang aktual. Sebab, lewat “opini”, sikap atau orientasi masyarakat yang dimunculkan oleh setiap penulis dapat lebih tegas tersalurkan, tak sekadar dikutip satu atau dua kalimat seperti halnya dalam sebuah berita. Di masa lalu, di jaman kolonial Belanda, "opini" merupakan sebuah medan perjuangan. Ia menyebabkan terjadinya berbagai perubahan di negeri ini.[1]
Isi “opini” bisa bermacam-macam. Mulai dari analisis, renungan atau pun sekadar komentar. Gaya penulisannya juga sangat bebas. Bisa humor, bisa reflektif, bisa kontemplatif. Mulai dari tulisan model Jaya “Kelirumolog” Suparna, Kyai Mustofa Bisri, Masdar Mas’udi, Nurcholis Madjid, Gus Dur, Arief Budiman, Onghokham, Mochtar Pabottingi hingga yang serius dan penuh istilah aneh macam Dr. Liek Wilarjo. Begitu juga yang menulis mulai dari penulis biasa, pakar bertitel doktor hingga seniman, guru swasta dan mahasiswa.
Manfaat Menulis Opini Sebagai Kegiatan Mengarang
Sebagaimana halnya kegiatan mengarang, menulis opini bukan hanya bermanfaat melainkan juga merupakan pekerjaan yang mempesonakan dan menggairahkan bagi penulisnya. Kegiatan mengarang bagi seorang yang telah mahir menimbulkan berbagai nilai yang merupakan penghargaan. Kegiatan mengarang sendiri merupakan rangkaian perbuatan dari mengolah gagasan hingga penyusunan kalimat, berbagai pengalaman dari pikiran yang cerah atau macet hingga perasaan gembira atau kesal. Kesemuanya dapat menimbulkan bermacam nilai yang mungkin akan memuaskan aneka kebutuhan seseorang.
Dari kegiatan mengarang, paling tidak akan menghasilkan 5 macam nilai antara lain:
Nilai kecerdasan. Dengan kian sering mengarang seseorang akan kian mudah menghubungkan buah pikiran yang satu dengan lainnya, merencanakan kerangka uraian yang sistematis dan logis, kian matang menimbang suata kata/istilah yang tepat, menambah daya pikir dan kemampuan imajinasi, sekaligus tingkat kecerdasan.
Nilai kependidikan. Seorang pemula yang terus mengarang walau naskahnya belum diterbitkan atau tulisannya berkali-kali ditolak sesungguhnya telah melatih diri menjadi seorang yang ulet, tabah dan tekun hingga akhirnya pada suatu saat akan mencapai keberhasilan. Setelah menjadi seorang pengarang yang berhasil, bila ia terus menulis maka ia berarti terus memelihara ketekunan kerja dan senantiasa berupaya memajukan diri. Ini merupakan nilai pendidikan yang tak bisa diperoleh di bangku sekolah manapun.
Nilai kejiwaan. Jika karena keuletan terus-menerus akhirnya tulisan bisa dimuat dalam media cetak terkenal atau diterbitkan menjadi buku oleh penerbit besar, maka si penulis akan mendapatkan kepuasan batin, kebanggaan pribadi dan kepercayaan diri. Semua ini akan menimbulkan kegairahan untuk terus berkarya dan mencapai kemajuan.
Nilai kemasyarakatan. Seorang yang berhasil dalam mengarang dan karyanya menjadi bahan pembicaraan masyarakat sekitarnya, namanya akan dikenal termasuk oleh para penerbit dan pemilik toko buku serta para pembaca. Kerap kali ia akan menerima surat pujian atau penghargaan dari orang-orang yang memperoleh manfaat dari tulisannya.
Nilai kefilsafatan. Salah satu gagasan besar yang digeluti para pemikir sejak dulu adalah keabadian. Jasad orang arif tidak pernah abadi, tapi pikiran mereka selalu kekal karena diabadikan melalui karangan yang mereka tulis. Ada pepatah yang mengatakan “segala sesuatu musnah kecuali perkataan yang tertulis”.
Apa Keuntungan Menulis Opini?
Pertanyaan ini kelihatannya sepele, namun ternyata tak bisa dibayangkan apalagi dijawab oleh orang yang tak pernah melakukannya. Yang jelas ada banyak keuntungan menulis opini dan dimuat di media massa terkemuka.
Anda tentu tak pernah membayangkan bahwa menulis opini secara teratur bisa menjadi sebuah profesi tunggal, apalagi di jaman resesi ekonomi sekarang ini.[2] Coba bandingkan honor seorang penulis sebuah opini di halaman IV Kompas yang honornya antara Rp 250 ribu – Rp 450 ribu dengan gaji pegawai negeri golongan III-a yang cuma sekitar Rp 300 ribu per bulan. Kalau kita bisa menulis secara teratur dan tulisan kita dimuat di halaman IV Kompas secara rutin, maka setiap bulan kita akan memperoleh penghasilan antara Rp 1 juta hingga Rp 2,2 juta. Angka ini melebihi gaji sebulan seorang pegawai negeri bertitel doktor yang berpangkat IV-d.
Selain kaya harta, tentu saja seorang penulis kolom akan jadi populer dan dikenal banyak orang. Coba bayangkan, orang bisa mengenal baik tokoh macam Romo Muji Sutrisno, Ariel Heryanto, Kwik Kian Gie, Mohammad Sobary, Wimar Witoelar, Yusril Ihza Mahendra, Mochtar Buchori dan lain-lain hanya dari tulisannya, tanpa pernah melihat wajah orangnya apalagi mengenalnya. Itu cuma gara-gara kita sering membaca tulisan mereka secara rutin. Memang, penulis opini yang baik dan tulisannya muncul rutin akan dengan cepat sekali diakrabi oleh pembaca.
Selain kaya dan terkenal, ada keuntungan yang lebih strategis yaitu punya ruang untuk mengembangkan polemik. Kerap kali masyarakat menganggap seorang penulis opini adalah pemikir dan intelektual. Ia mampu berbicara dan berpikir dengan sama baiknya. Karena itu penulis opini sering menerima berbagai undangan untuk jadi pembicara dan narasumber dalam ceramah atau seminar penting. Suara penulis opini sangat di perhatikan. Konsekuensi dari hal ini tentu saja dengan bertambahnya income dan hadiah yang diterima seorang penulis opini.
Bagaimana Menulis Opini?
Semua orang yang pernah bersekolah (bisa baca-tulis) bisa dipastikan akan bisa menulis dan menuangkan pikirannya. Tapi apa semua orang yang pernah bersekolah bisa menggagas pikirannya secara terorganisasi, menulis opini? Apa kah Anda yang pernah membuat puluhan makalah untuk kepentingan kuliah juga bisa menulis opini? Belum tentu!
Menulis opini ternyata butuh keterampilan khusus dan latihan secara terus-menerus. Untuk menulis opini (juga menulis cerpen dan puisi) seseorang harus memiliki sejumlah kemampuan antara lain merumuskan masalah dengan baik, berbahasa lugas, punya pengetahuan umum yang baik, serta barangkali yang agak penting adalah pemahaman filsafat. Kita bisa melihat misalnya kelebihan tulisan soal sepakbola Sindhunata atau Gus Dur dibanding dengan opini wartawan olahraga atau pengamat macam Ronny Pattinasarani. Muatan tulisan orang yang punya pengetahuan filsafat akan jauh lebih berbobot ketimbang orang yang yang tak memilikinya.
Mengenali media media juga hal penting. Sebab media massa di era industri pers ini betul-betul punya karakter yang khas dengan segmentasi yang ketat. Ada suratkabar, ada majalah, ada tabloid. Ada yang umum, ada yang khusus. Yang mana yang akan kita pilih. Itu pun masih dibagi-bagi ada anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua. Masih lagi dibagi lelaki dan perempuan. Menulis opini untuk Kompas tentu saja akan beda dengan untuk Matra apalagi Kompas. Jangan kan itu, menulis untuk media yang berbeda, menulis untuk sesama koran pun macam Kompas akan berbeda dengan menulis untuk Republika.
Selain itu kita mesti mencermati bagaimana dan prasyarat apa saja yang harus dipenuhi agar sebuah tulisan opini bisa lolos sensor dan lolos seleksi dari tangan seorang redaktur opini. Berikut ini adalah tabel kriteria layak muat rubrik opini secara umum:
Pertanyaan
Jawab
Keterangan
Topik Anda aktual?
Ya
Aktualitas adalah prioritas utama. Prioritas bisa dikaitkan dengan momentum yang tengah terjadi di masyarakat, bisa juga dengan momentum sejarah. Misalnya menulis soal Kartini menjelang tanggal 21 April.
Bahasa Anda lugas, padat dan tak bertele-tele?
Ya
Redaksi akan membuang opini Anda meski gagasan Anda baik hanya karena bahasa Anda bertele-tele, mbulet dan tak jelas juntrungan logikanya. Tulisan Anda juga harus bisa menfungsikan tanda baca dengan baik.
Tulisan Anda mengandung hal baru, baik data maupun pandangan?
Ya
Banyak penulis baru berambisi memasukkan nama-nama besar dan pemikirannya dalam tulisannya, namun hasilnya tak lebih merupakan kumpulan kutipan atau cuma review saja. Upayakan juga agar data yang Anda gunakan cukup akurat.
Tulisan Anda tak terlalu berat dan teoritis, langsung menyentuh kehidupan banyak orang?
Ya
Harus dicamkan, bahwa opini harus bisa dibaca semua orang. Menulis teknis fisika atom, misalnya, jelas tak akan dimuat. Tapi menulis tentang sumbangan falsafah fisika atom bagi kemanusiaan kemungkinan besar akan bisa dimuat.
Tulisan Anda cocok dengan karakter pembaca?
Ya
Harap dicermati karakter media tempat Anda bakal mengiririmkan opini Anda. Karakter pembaca Kompas (sk umum) jelas berbeda dengan pembaca Nova (tabloid wanita). Karakter pembaca biasanya menyangkut bentuk media dan segmentasi pembaca.
Isu dalam tulisan Anda belum berlalu dalam mainframe besar?
Ya
Perhatikan isu-isu besar yang tengah terjadi di masyarakat. Jelas sekarang Anda tak mungkin menulis soal tatacara pemilihan anggota legislatif, sebab masa kampanye dan sidang umum telah berlalu.
Ide Anda orisinil?
Ya
Upayakan agar ide opini Anda memang orisinil. Hal ini untuk menghindari tuduhan plagiator. Juga jangan mengirimkan opini secara bersamaan ke media yang berlainan.
Masalah yang Anda kemukakan tak terlalu peka hingga bisa mengundang polemik berkepanjangan?
Ya
Sudah jelas Anda tak bisa menulis soal pembantaian suku Amungme di Irian oleh militer pasca-drama Mapenduma. Perhatikan ketentuan unsur pemberitaan SARA di sini.
Anda cukup tenar?
Ya
Ini adalah hal wajar. Redaksi akan lebih memilih big name ketimbang penulis pemula. Untuk itu penulis pemula harus selalu berusaha meningkatkan “jam terbang”nya.
Memilih judul sebuah tulisan opini ternyata juga butuh kiat tersendiri. Kita harus mengerti bahwa seorang redaktur suratkabar setiap harinya menerima puluhan tulisan yang mungkin secara umum bernada dan berisi sama. Artinya untuk bisa lolos seleksi sebuah opini harus bersaing mengalahkan puluhan opininya lainnya. Terus terang tak banyak redaktur opini yang bersedia meluangkan waktu untuk membaca semua kiriman opini yang diterimanya. Nah, tentu saja melihat nama besar penulis, pertama kali redaktur akan membaca secara sepintas tulisan yang diterimanya. Pilihan judul di sini berperan sangat penting.
Coba bandingan antara judul “Memprediksi Kemampuan Perekonomian Sebuah Negara Asia Tenggara Dengan Peringkat Korupsi Paling Tinggi Untuk Bangkit Dari Krisis Moneter: Studi Kasus Indonesia” dengan tulisan yang sama tapi berjudul “Gonjang-Ganjing Ekonomi Indonesia”. Mana yang lebih menarik? Jelas judul pertama adalah sebuah judul makalah, skripsi atau desertasi, bukan judul sebuah opini. Judul ke dua adalah sebuah judul yang menarik untuk sebuah opini.
Gunakan judul opini yang ringkas tapi padat. Judul sebaiknya terdiri atas 2 hingga 4 kata, jangan lebih. Idealnya adalah 3 kata saja. Judul opini yang baik adalah judul yang bisa menarik perhatian pembaca, menyimpulkan isi opini, melukiskan mood si penulis, memberi keringanan pada tipografi, membantu menentukan nada media yang bakal memuatnya. Kata dan imbuhan yang tak perlu dan berpotensi membebani kalimat bisa dibuang jauh-jauh. Upayakan juga kata lebih banyak terstruktur dalam “kata kerja” aktif dan “DM” (diterangkan-menerangkan) bukan struktur bahasa Barat “MD”.
Panjang tulisan untuk opini di suratkabar biasanya berkisar antara 3,5 – 5 halaman ketik spasi rangkap ukuran kuarto. Jangan lebih, karena tak akan dimuat. Atau kalau dimuat akan dipangkas habis. Untuk majalah dengan opini sepanjang 1 halaman panjang tulisan sekitar 2,5 hingga 3 halaman ketik spasi rangkap ukuran yang sama.
Sekadar “Menulis” Atau “Menulis Betulan”?
Sekarang kita tampaknya baru sadar, untuk membuat sebuah opini kita tak cukup hanya “menulis” tapi harus “menulis betulan”. Kita harus punya kesadaran bahwa begitu tulisan kita dimuat ia akan dibaca oleh ribuan orang, termasuk ratusan yang pakar dalam persoalan yang kita suguhkan. Selain kita harus mempunyai akurasi yang baik, setiap data, kutipan dan sumber yang kita gunakan harus betul-betul credible dan bisa dipertanggungjawabkan. Sekali salah, selain akan menderita rasa malu berkepanjangan, kita akan diblacklist oleh redaktur opini.
Seorang penulis opini idealnya harus bisa menggagas sebuah pikiran sehat tanpa perlu mencaci atau pun menghakimi, tidak terperangkap dalam sebuah keajegan, harus mampu membuat mikro maupun makroanalisis. Tulisan opini harus pintar tapi tak menggurui.
Dalam hal ini diperlukan latihan secara terus-menerus dengan mengirimkan setiap opini yang selesai dibuat ke media yang dipilih. Jangan berkecil hati bila opini Anda dikembalikan. Komentar dan respon yang akan dikirim balik oleh redaktur dari media bersangkutan pada umumnya berisi catatan kecil atas isi opini kita. Komentar tersebut bisa menjadi feedback yang sangat berguna untuk perbaikan tulisan dan bentuk penulisan di masa mendatang bagi seorang penulis pemula.
Jangan lupa mencoba membuat urutan prioritas media yang bakal kita kirimi opini kita. Ditolak dari sebuah media bukan berarti praktis tulisan kita memang tak layak muat atau harus diubah total. Jangan putus asa, ditolak di Kompas belum tentu ditolak di Suara Pembaruan begitu pula sebaliknya. Selain itu pada kenyataannya masih ada sejumlah media alternatif lainnya. Kalau ditolak di media ibukota barangkali juga perlu dicoba ke media daerah.
Bagaimana Agar Tulisan Bisa Dimuat?
Selain memiliki ketrampilan teknis tulis-menulis dan wawasan yang baik ternyata di redaksi juga ada sebuah birokrasi yang bisa menjegal opini kiriman penulis pemula. Untuk berhasil butuh kiat tertentu. Misalkan jangan sungkan-sungkan untuk mengirimkan tulisan Anda terlebih dulu pada teman, dosen dan pakar. Dengan rendah hati minta lah komentarnya. Komentarnya akan mengakomodasi sejauh mana kita melakukan perbaikan terhadap tulisan opini kita, komentar yang mereka berikan kerap memberi rasa percayaan diri pada penulis pemula.
Dan juga jangan segan, bila “kolega baru” Anda itu telah terbiasa menulis di media massa, minta lah rekomendasinya. Hal ini biasanya akan diperhitungkan oleh redaktur opini yang bersangkutan. Fungsikan “kolega baru” Anda itu untuk jadi pembuka jalan bagi karier baru Anda.
Bila Anda seorang penulis pemula, jangan lupa buat sebuah surat pengantar dengan mencantumkan kata-kata “dengan rendah hati, saya nyatakan kesediaan bahwa tulisan saya ini untuk diedit atau mengalami perubahan kecil asalkan tanpa mengubah maknanya”. Juga jangan lupa mengirimkan kopi identitas diri (biasanya KTP) juga. Pada amplop surat masukkan perangko balasan dan bubuhkan tulisan “Opini” di sisi kiri bawah. Jangan lupa pula, cantumkan alamat lengkap Anda di sisi atas depan amplop.
Bila Anda seorangt penulis pemula, upayakan untuk mengirimkan tulisan Anda dalam bentuk print out. Jangan berbentuk file disket atau digital yang dikirim melalui e-mail. Mengirim dalam bentuk file elektronik ke redaksi tanpa pernah mengetahui atau mengenali redaksi yang dituju adalah sama dengan mengirimkan paket tanpa pernah mencantumkan nama dan alamat yang dituju. Artinya, karangan kita bukan tak mungkin akan terlantas selama berhari-hari di salah satu komputer redaksi tanpa ada orang yang merasa bertanggungjawab untuk mengurus “paket” Anda. Dan jangan kaget, saat “paket” Anda ditemukan oleh redaktur yang bertanggungjawab atas pemuatan opini, “paket” (topik tulisan) Anda telah basi.
Untuk mereka yang tinggal di luar kota, perlu dicantumkan alamat atau nomer rekening bank untuk menerima pembayaran honorarium atas pemuatan tulisan kita. Tentu saja kalau sudah dimuat. Untuk yang dalam kota biasanya penulis harus mengambil sendiri di redaksi. Gunakan setiap kali ada kesempatan datang ke redaksi, untuk berkenalan dan menemui redaktur opini. Pelihara lah lobi dengan mereka, sebab mereka orang penting dalam profesi baru kita ini.
Jangan lupa untuk mencantumkan nama samaran (nickname), tentu saja bila diinginkan, dan menjelaskannya di kata pengantar. Namun nickname ini biasanya digunakan bila seseorang telah pernah menulis opini dan dikenal oleh redaktur opini media yang bersangkutan.[3]
Untuk pemula jangan mencoba menggunakan nama samaran yang aneh-aneh, misalnya: “Srigunting” atau “Si Cambuk Berduri”. Hal ini hanya akan jadi bahan tertawaan di kalangan redaksi saja. Apalagi bila tulisan Anda biasa-biasa saja. Pertimbangkan juga kesulitan yang bakal Anda temui saat harus menguangkan kiriman wesel dengan nama “Si Cambuk berduri”.***
Lampiran:
Gagasan
Pengarang
Cerita
Perbincangan
Lukisan
Paparan
Khayali
Faktawi
Puisi
Prosa
Infor-matif
Ilmiah
Dramatik
Epik
Lirik
Drama
Fiksi Ilmiah
Cerpen
Novel
Karangan
Kependidikan
Karangan
Penelitian
Kisah
Laporan
Ringkasan
Ulasan
Sejarah, bio- grafi, kisah perjalanan, dll
Roman, detektif, dll
Jurnalistik, jabatan, perusahaan, lap. Khusus, dll
Esai, kritik,
tinjauan, tajuk, dll
Naskah riset
Makalah
Artikel
Referensi
Didaktik
Kesarjanaan
1. Bentuk
2. Ragam
3. Jenis
4. Rumpun
5. Macam
Abstrak, sinopsis, iktisar, garis besar, risalah dll
[1]Banyak kaum jurnalis pada masa ini dihukum penjara karena tulisan mereka di rubrik opini, antara lain Mas Marco Kartodikromo, Tjipto Mangunkusumo, dr. Soetomo dan Ki Hajar Dewantara.
[2] Sesuai letter of suplemen IMF dengan Indonesia yang disepakati pada 6 April 1998, ekonomi Indonesia diramalkan akan terus jatuh. Inflasi bakal mencapai angka 44,3 persen dengan pertumbuhan minus 5 persen. Artinya akan ada angkatan kerja baru tak bakal bisa diserap, sementara PHK akan terjadi di mana-mana. Angka ini kini telah dikoreksi, inflasi pada 1998 mencapai angka 80% dengan pertumbuhan minus 18%. Nilai dolar Amerika yang dainya Rp 5 ribu/dolar AS pada akhir 1998 terkoreksi negatif hingga Rp 16.000/dolar AS. Kini pada Mei 2002, meski telah naik Presiden Megawati menggantikan Gus dur, nilai rupiah masih bertahan di kisaran sekitar Rp 8.900/Dolar AS.
[3] Ada banyak penulis atau pengarang mencirikan nama samaran dalam tulisannya secara berbeda-beda. Hal ini biasa digunakan oleh penulis yang ingin berjarak dengan pembacanya, sekaligus mengenal karakter tulisan tertentu pada pembacanya.
Selasa, 3 Julai 2007
Langgan:
Catat Ulasan (Atom)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan