Dalam masalah pemberitaan suku-agama-ras-antar golongan (SARA) seperti tentang konflik Ambon, media besar lebih banyak memilih bersikap mengamankan diri dengan menjadi minimalis.[3] Banyak di antara pengelola media yang masih trauma dengan pengalaman masa lalu dimana pemerintah kerap “mengintervensi” kebijakan pemberitaan secara berlebihan. Hal ini ditambah kian maraknya aksi-aksi komunalisme terhadap kantor redaksi belakangan ini. Dengan demikian tendensi media untuk melakukan sensor diri kian menjadi kuat, meski ruang demokrasi sebetulnya lebih lebar.
Sejumlah wartawan dan media yang sadar pada kelemahan pers era pasca kontrol negara, berlomba mengembangkan ilmu jurnalisme penyelidikan (investigation jurnalism) dan jurnalisme pembuktian (provetic jurnalism) . Sementara sekelompok masyarakat memprakarsai munculnya lembaga pemantau media, lembaga pers ombudsman, dewan pers dan lembaga konsumen pers. Namun hal ini belum menunjukkan hasil yang berarti, karena wartawan selama puluhan tahun terlanjur tak terbiasa dengan pola penyelidikan. Mereka lebih banyak mengutip ucapan pejabat (sipil maupun militer) dan data resmi yang disodorkan aparat negara.[4]
Jurnalisme Omongan
Ada banyak wartawan muda berpendapat jurnalisme omongan sesungguhnya adalah sama dengan jurnalisme bohong. Setiap kali ada kerusuhan di Indonesia, aparat keamanan yang dimintai konfirmasi selalu cepat-cepat menjawab “keadaan sudah kembali aman, lancar dan terkendali”. Padahal pada kenyataannya, kerusuhan sama sekali belum bisa di”kendali”kan. Demikian juga sebelum jajak pendapat di Timor Timur, setiap kali memberikan konfirmasi perihal terjadinya pelanggaran hak asasi manusia atau terjadinya aksi penembakan oleh ABRI, setiap sumber Departemen Luar Negeri yang memberikan konfirmasi kepada wartawan adalah sumber kebohongan.
Kaidah pers “big name big news, no name no news” dalam paradigma wacana media di Indonesia, khususnya yang menyangkut pejabat, adalah mesin produksi berbagai anti-realitas. Contoh ekstrem yang bisa dikemukan di sini adalah pada 1970-an saat Presiden Soeharto berpidato menyatakan bahwa Indonesia telah bebas buta huruf, pers keesokan harinya memuatnya pernyataan ini sebagai headline dan tak pernah melakukan konfirmasi pada jutaan rakyat yang masih buta huruf.[5] Dengan bantuan media, ucapan presiden yang tadinya baru bertaraf “pernyataan” diubah menjadi “kenyataan”.[6] Upaya mengubah paradigma pernyataan-kenyataan ini didukung dengan diwajibkannya setiap desa membuat slogan “Daerah Kami Bebas-3B”.[7]
Dengan adanya kebiasaan pejabat untuk menutupi fakta sebenarnya, maka pers terbiasa mengutip kebohongan. Hal ini terlanjur jadi sesuat yang lumrah. Apalagi ada kewajiban dalam pers untuk menyajikan liputan secara berimbang (cover both side). Liputan penyelidikan dan pengumpulan data di lapangan bisa dimentahkan dengan bantahan dari pejabat yang apabila diturunkan akan mengundang risiko munculnya teguran dari sejumlah instansi yang berwewenang.[8]
Dalam beberapa kasus praktek, pers Pancasila juga menjadikan sejumlah kaidah jurnalistik macam “check and recheck”, “cover both side” dan “balancing reporting” bisa diartikan sebagai sebuah upaya “adu domba”, “menyudutkan pejabat tinggi” dan “upaya membongkar rahasia negara”.[9] Untuk mengeleminir kebohongan dari sumber resmi, umumnya pers Indonesia mencari suara lain dari kalangan akademisi atau pakar yang, selakanya, tak jarang kondisi obyektifnya bukan hanya tak menguasai data tapi juga tak menguasai persoalan.
Jurnalisme omongan yang lebih berorientasi pada pengejaran sumber-sumber pejabat tinggi negara dan militer sebagai dasar legitimasi “fakta kebenaran” berubah menjadi sebuah peresmian desas-desus, rumors dan mungkin juga cerita fiksi.[10] Di jaman Soeharto berkuasa, kalangan pejabat militer dan intelijen kerap melontarkan desas-desus dan tuduhan yang sama sekali mengada-ada. Dalam hal ini, contoh yang paling ekstrem adalah Peristiwa 27 Juli 1996. Saat itu, peristiwa yang sesungguhnya merupakan ekses dari penyerbuan aparat keamanan ke kantor PDI Pro Mega mengakibatkan kemarahan rakyat hingga mengamuk dan melakukan perusakan serta pembakaran gedung di sejumlah tempat di Jakarta dengan mudah diubah menjadi tanggungjawab tunggal kelompok Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Dalam Kasus 27 Juli, pers mengutip semua ucapan pejabat tinggi militer dan intelijen sebagai kebenaran. Tuduhan bahwa PRD adalah kelompok komunis yang militan, gerombolan setan gundul,[11] dan kelompok pengacau keamanan dilansir berbagai media tanpa memberikan kesempatan pada PRD, para pendukung dan keluarga aktivis PRD untuk membela diri. Hebatnya, dalam situasi seperti ini beberapa media mengutip ucapan Kasospol ABRI, Letjen TNI Syarwan Hamid, yang mengatakan, “Saya bisa tahu bahwa mereka itu komunis hanya dari mendengar cara mereka bernyanyi atau bersiul.”[12]
Media dan wartawan saat itu seperti bungkam saat menerima “pengarahan” dan kebohongan versi militer, meski di antara wartawan banyak yang jadi saksi bahwa pelaku penyerbuan kantor DPP PDI adalah pasukan militer. Yang agak keterlaluan adalah majalah Gatra,[13] yang bukan hanya sekadar menurunkan wawancara tapi menggunakan akses dan kedekatan dengan kelompok militer untuk membuka semua file pemeriksaan dan interograsi militer yang mempersepsikan PRD sebagai kelompok komunis yang berbahaya.[14]
Pola kerja dan liputan berdasar pada omongan ini membuat news paper diplesetkan sebagai views paper. Artinya, media lebih memberitakan tentang persepsi atau pikiran ketimbang menghadirkan kenyataan sosiologis. Sebuah berita direkonstruksi berdasar ucapan dan pikiran para narasumber.
Kekerasan Media
Potensi kekerasan oleh media sangat besar. Selain pemelintiran fakta melalui praktek jurnalisme omongan, pembanjiran kata-kata dari sumber yang tak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya kecuali hanya bersandar pada lebitimasi jabatan; sejumlah media terbukti melakukan praktek kekerasan lainnya. Antara lain dengan menghadirkan headline serta judul pemberitaan yang berbeda (misleading) dengan isi pemberitaan dan kenyataan sebenarnya. Sejumlah media juga melakukan dramatisasi serta pengerasan fakta untuk mengobarkan rasa benci dan permusuhan. Pengutipan kata-kata dilakukan justru dengan memilih kata-kata narasumber yang paling keras dan paling kontroversial yang bisa menimbulkan konflik terbuka.
Kekerasan dengan cara yang berbeda dilakukan media dengan cara yang berbeda, yaitu dengan memperhalus kata-kata (eufemisme), bahasa dan fakta. Cara yang selain menimbulkan efek terhadap munculnya sejumlah kata-kata bermakna ganda ini juga menyebabkan masyarakat kehilangan kemampuan membaca fakta.[15]
Unsur subyektifitas (personal) pengelola media, ketakberesan pengambilan keputusan dalam redaksi, masuknya vested interes pimpinan media juga merupakan salah satu dari banyak penyebab tidak obyektifnya pemberitaan sebuah media.
Hak jawab yang ditonjolkan media sebagai hak pembaca yang merasa dirugikan kerap tak efektif. Banyak pihak merasa tak ada gunanya menyampaikan hak jawab atau mengirim sanggahan lewat surat pembaca, karena redaksi tak akan memuatnya. Atau kalau memuat, biasanya waktunya lama, setelah momentum perdebatkan lewat. Kerap juga permintaan maaf, pembetulan kesalahan tak bermakna apa-apa karena redaksi kembali mengulang menurunkan berita seperti kesalahan yang pertama kali dibuatnya.[16]
Selain kekerasan tekstual, media juga memiliki potensi kekerasan modal. Seperti diketahui umum, ada banyak pimpinan media yang berhasil membawa medianya sukses sebagai sebuah bisnis. Ada pula wartawan yang berkat medianya bisa menduduki sejumlah jabatan strategis dalam pemerintahan. Sejumlah wartawan juga berhasil masuk dalam kehidupan kalangan jet set. Mereka ini tentu saja memiliki kepentingan untuk mempertahankan apa yang telah mereka raih.
Sejumah pimpinan media ada yang melihat media yang dipimpinnya tak lebih dari sebuah komoditi ekonomi. Dengan demikian, bukan tak mungkin pelunakan dan pengerasan fakta bukan tak mungkin lebih merupakan strategi pemilik media untuk mengamankan aset atau menaikkan tiras media yang dikelolanya.[17]
Kekerasan komunalis terhadap media yang marak belakangan, yang bebeda dengan kekerasan komunal sebelumnya, barangkali bisa dimengerti bila dikaitkan dengan kefrustasian dan ketidakberdayaan sebagian masyarakat pada cara pemberitaan serta kebijakan redaksi media yang tak memberikan tempat yang cukup pada suara masyarakat dan fakta sebenarnya.
Instutusi media sendiri, yang puluhan tahun di bawah Orde Baru dihilangkan watak dan karakternya, kini banyak yang tengah mengalami krisis. Mulai krisis kepercayaan diri hingga krisis orientasi. Mereka mencoba kembali mempersepsikan tentang apa itu “Orde Baru”, “Integrasi Timor Timur”, “GPK Aceh”, “OPM di Papua”, “Peristiwa 1965” dan sebagainya.***
[1] Dibuat untuk keperluan seminar “Media Pers dan Fenomena Kekerasan Publik” yang diselenggarakan Program Media Watch dan Civic Education Kippas Medan di Hotel Danau Toba Internasional, Medan, pada 3 Agustus 2000.
[2] Gagalnya media menyajikan informasi yang benar dan presisi pada pembacanya ini bisa dilihat pada pemberitaan mengenai sakitnya mantan Presiden Soeharto saat kena serangan stroke pada Juli 1999. Riset mengenai hal ini bisa dilihat: Stanley, “Soeharto Sakit, Akses Media Macet” dalam jurnal Pantau Edisi 09/Maret-April 2000.
[3] Dua media terkemuka yang perlu dikemukakan di sini adalah Kompas dan Suara Pembaruan yang nyaris tak menyodorkan berita yang lengkap pada pembacanya. Lihat:
[4] Pengamat media menyatakan para wartawan di Indonesia sebih banyak mempraktekkan talking jurnalism, yaitu jurnalisme omongan yang lebih merupakan kutipan atas pernyataan seorang pejabat dan counter pakar atas pernyataan tersebut, atau sebaliknya.
[5] Hal seperti ini terjadi berkali-kali selama Orde Baru, antara lain ketika Soeharto menerima penghargaan dari Badan Pangan Sedunia atas “keberhasilannya” memimpin bangsa Indonesia keluar dari ketergantungan import beras dan berhasil sukses berswasembada beras. Terakhir ketika Soeharto terkena serangan stroke pada akhir 1997.
[6] Dalam kajian teoritis, pencampuradukan dan perekayaan antara kepalsuan dan realitas ini dikenal sebagai simulacra atau hiper-realitas. Dan bahkan ada kecenderungan media di jaman Orde Baru bukan hanya menciptakan simulacra melalui ucapan pejabat, tapi juga telah menghadirkan wacana yang berkaitan dengan penciptaan pengetahuan palsu dan kebenaran semu di masyarakat yang lebih dikenal sebagai pseudosophy.
[7] Kepanjangan dari “buta aksara, buta huruf, buta angka; namun oleh masyarakat diplesetkan menjadi “buta ijo, buta terong dan buta cakil” . Buta ijo dan buta terong merupakan tokoh raksasa jahat dalam cerita rakyat di Jawa. Sedangkan buta cakil adalah tokoh wayang yang mewakili watak kejahatan.
[8] Para era Orde Baru, redaksi media massa mendapat kontrol yang sangat kuat hingga muncul sinyalemen bahwa dalam model pers Indonesia yang kondang disebut sebagai pers Pancasila, sesungguhnya pemimpin redaksi adalah bagian dari “otak” Departemen Penerangan dan Mabes ABRI jadi pusat seluruh kebijakan redaksional yang sebenarnya.
[9] Pelajari kembali alasan pembredelan sejumlah media di masa Orde Baru, mulai dari Indonesia Raya hingga Tempo, Editor dan DeTIK pada 21 Juni 1994 yang diawali dengan pidato Soeharto tentang adanya indikasi mengadu-dombapejabat tinggi negara.
[10] Pada awal kekuasaan Orde Baru, Soeharto juga menggunakan dua media yang dikuasai tentara yaitu Angkatan Bersenjata (The Army) dan Berita Yudha (War News) untuk mengobarkan propaganda semangat anti-komunis dengan cara menyebarkan kebohongan tentang kekejaman dan penyiksaan yang dilakukan organ perempuan yang jadi onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI), Gerwani ketika membunuhi “Tujuh Jendral Revolusi “ satu demi satu. Cerita tentang tarian telanjang “harum bunga”, pesta seks (orgy), penyiletan penis para jendral (sado-masochist) merupakan sebuah cara untuk menciptakan kebencian rakyat terhadap kelompok ini, yang memiliki kekuatan untuk menggerakkan kemarahan “rakyat” yang berakibat (jadi alasan) terjadinya pembunuhan massal terhadap jutaan orang sepanjang tahun 1965-1968. Lihat: Stanley, “Penggambaran Gerwani Sebagai Kumpulan Pembunuh dan Setan: Fitnah dan Fakta Penghancuran Organisasi Perempuan Terkemuka”, paper yang disampaikan pada seminar Pra-Kipnas “Memandang Tragedi Nasional 1965 Secara Jernih” yang diselanggarakan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) di Kampus Puspitek Serpong pada 8 September 1999.
[11] Sebutan ini dilansir Soeharto kepada para wartawan dalam temu wicara pada 24 Juni 1996 di Jakarta saat menjelaskan tentang aktivitas “orang-orang PRD” yang memberikan dukungan kepada pendukung Megawati di Kantor PDI di Jl. Diponegoro, Jakarta.
[12] Lihat: Terbit dan Republika, 1 Agustus 2000.
[13] Majalah ini dikelola Herry Komar dkk, mantan awak Tempo yang dibredel pada 21 Juni 1994. Kelompok ini dianggap para wartawan muda yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) berkhianat, baik dari sisi komitmen maupun ideologis. Sejumlah kolumnis, dipimpin Dr Arief Budiman, pernah melancarkan gerakan boikot menulis dan membaca majalag Gatra. Pada Peristiwa 27 Juli, majalah ini menurunkan sejumlah tulisan yang bukan hanya menyudutkan tapi juga menyerang PRD dan Romo Sandyawan Sumardi SJ yang membantu menyelamatkan aktivis PRD. Seluruh bahan yang diturunkan sebagai liputan utama yang menyerang PRD bertumpu pada hasil interograsi (berdasar siksaan) aparat militer. Sejumlah wartawan mengecam model jurnalisme yang dipraktekkan majalah ini dan menyebutnya sebagai “jurnalisme intel”. Untuk mengerti pola kerja dan pemetaan intelijen militer Indonesia terhadap kelompok kritis dalam masyarakat bisa dilihat dari Lampiran C. Gambaran Militer Terhadap Ancaman Keamanan Juni 1998.
[14] Dari sejumlah penyidikan yang belakangan dilakukan Polri, terbukti adanya campur tangan langsung dari Kasospol Letjen TNI Syarwan Hamid, Pangab Jendral TNI Feisal Tangjung dan bahkan Presiden Soeharto serta petinggi militer dalam peristiwa penyerbuan Kantor DPP PDI 27 Juli 1996.
[15] Contohnya kekerasan dan aksi penculikan yang dilakukan korps Baret Merah terhadap sejumlah aktivis pada 1997 nyaris tak memiliki makna apa-apa dengan praktek militerisme dan penyalahgunaan kewenangan intelijen ala Orde Baru tatkala para pelakunya disebut sebagai “oknum”. Seluruh proses hukum yang dilakukan terhadap para penculik yang tergabung dalam “Tim Mawar” hanya dilihat sebagai bagian dari ekses atas kesalahan prosedur.
[16] Lihat nada kefrustasian terhadap Jawa Pos yang tergambar surat yang saya cuplik dari sebuah milis berikut ini:
>Date: Sun, 07 May 2000 22:01:03 +0700
>From: elsad
>X-Mailer: Mozilla 3.01C-KIT (Win95; I)
>MIME-Version: 1.0
>To: kmnu2000@egroups.com
>Subject: Boikot Jawa Pos
>Content-Type: text/plain; charset=us-ascii
>Content-Transfer-Encoding: 7bit
>
>Mohon disebarkan ke mailing-list apapun.
>
> PROPAGANDA eLSAD
> Atas Kasus Serbuan Ansor-massa NU ke Jawa POs
>
>Provokasi I
>
>[1] Hak Jawab atas kasus info Korupsi Tokoh-tokoh NU tidak efektif, karena tidak ada alat verifikasi yang memadai. Kalau Hak Jawab tidak dimuat Jawa Pos, pihak NU tidak bisa berbuat apa-apa. Dan kalau bantahan dikirimkan ke media massa lain pasti tidak mau memuatnya, dengan alasan
(konon) etis. Ini bukan hanya analisis, tapi pengalaman langsung.
>
>[2] Hak Jawab itu diasumsikan kalau Jawa Pos adalah koran yang fair, dan berani minta maaf karena khilaf. Tapi Jawa Pos adalah koran yang pemberitaannya dijalankan secara sadar, sistematis, beritanya dibuat beruntun, judul beritanya provokatif, nara sumber yang diambil khusus mendukung judul & isi berita. Ini adalah bentuk-bentuk konspirasi pemberitaan saja.
>
>[3] Minta maaf atau bentuk serupa dari Jawa Pos itu omong kosong, selama ini terbukti tidak efektif.Dulu Banser/Ansor juga mengajak dialog di rumah makan atas ulasan tentang politik NU yang ada komentar dari ajengan Ilyas Ruchiyat. Setelah dialog selesai, kasus berita tanpa konfirmasi terulang lagi. Akibatnya, massa NU bertindak anarkis melalui penyerbuan.
>
>[4] Tentang anarkisme: Siapa yang lebih anarkis? Anarkisme Jawa Pos lewat berita-beritanya ke seluruh basis massa? Atau massa NU yang menyerbu satu kantor Jawa Pos? Massa menyerbu karena amuk tapi Jawa Pos "amuk" ke NU karena konspirasi pemberitaan.
>
>[5] Sikap Minta Maaf itu membuka peluang bagi elit NU untuk bisa bermain sendiri, atas nama kemarahan massa NU. Setelah minta maaf selesai, pasti terbuka peluang untuk lobi-lobi konspiratif ekonomi-bisnis. Massa hanya jadi sapi perahan elit-elit yang mengatasnamakan ideologi massa NU.
>
>Kesimpulan: Penyerbuan Ansor/massa NU itu 1/2 legitimate.
>
>[1] Poin 1-5 di atas tidak mendidik NU dan Jawa Pos. NU citranya makin jelek dan Jawa Pos juga tetap tidak mau sadar. Jawa Pos punya posisi strategis sebagai koran paling kuat di Surabaya.
>
>[2]Tidak mendidik elit-elit NU untuk melakukan korupsi di tengah aksi-aksi. Kasarnya, elit-elit NU akan selalu dikoreksi oleh massa NU, baik Rozy Munir yang dituding korup ataukan elit demonstran NU sendiri.
>
>[3] Tidak mendidik warga NU agar sikap-sikap politiknya bisa menjadi rasional. Massa NU yang menyerbu kemarin adalah emotional-society, tapi massa NU bisa kehabisan energi untuk menandingi opini-opini balik dari elit Jawa Pos lewat koran-koran yang ada dibawahnya. Lihat saja koran Suara Indonesia yang dua halamannya diblok warna hitam, yang sedang berduka agar Jawa Pos bisa terbit lagi.
>
>
>Tales, Mei 2000
>eLSAD
Tiada ulasan:
Catat Ulasan